Sunday, September 21, 2014

Homestay: Investasi Bernama Liburan

“Liburan sekolah nanti kau ke Ostrali ya. Tinggal sama orang di sana. Sendirian.”

Kalimat itu dilontarkan ayah saya pada waktu sekitar bulan April 1996, di meja makan ketika kami makan malam. Saya syok dan langsung ketakutan.

Umur saya 14 tahun waktu itu. Belum pernah naik pesawat sendirian. Apalagi menyasar-nyasarkan diri di negara yang nggak bisa berbahasa Inggris. Tapi ayah saya tetap kirim saya ke Sydney, melalui program homestay berdurasi sebulan yang diadakan Rotary Club.

Opera House adalah salah satu icon yang saya kunjungi ketika tinggal di Sydney.
Berupa gedung yang terdiri atas beberapa hall untuk memutar pertunjukan opera dan pertunjukan musik.
Sumber foto di sini.
Di program homestay itu, remaja-remaja Indonesia disebar di Sydney untuk menginap di rumah penduduk lokal pilihan. Masing-masing tinggal bersama keluarga warga negara Australia, diperlakukan seperti anak sendiri oleh keluarga-keluarga itu, dan sehari-harinya bersekolah di sekolah setempat. Karena bahasa sehari-hari Australia adalah bahasa Inggris, jadi kami dipaksa ngomong bahasa Inggris dengan keluarga angkat kami, dengan guru dan teman-teman di sekolah (selama di sana saya bersekolah di Heathcote High School di kawasan Wollongong), dan juga dalam berbagai kesempatan casual seperti ketika kami naik bis, jalan-jalan ke mall, atau sekedar beli majalah di warung.

Saya sendiri beruntung mendapatkan keluarga Lewis yang sangat ramah, dengan pasangan suami-istri Philip dan Lewis yang senang bercanda satu sama lain bersama ketiga anak-anak mereka, Katie (15), Melissa (12), dan Benjamin (11). Saya tinggal bersama mereka di sebuah rumah di kawasan Engadine. Mereka tahu bahasa Inggris saya pas-pasan, tetapi mereka tidak keberatan mengoreksi. Vocabulary saya dulu parah banget, tapi banyak mengobrol dengan mereka sehari-hari membuat kosa kata saya berkembang banyak.


Selain belajar berbicara dalam bahasa Inggris dengan penutur aslinya, saya juga belajar tentang budaya luar Indonesia, khususnya budaya Australia. Kadang-kadang keluarga itu mengadakan pesta atau diundang orang lain berpesta (kalau di Indonesia, kegiatan ini mungkin semacam arisan keluarga), dan saya juga ikut diajak. Saya ingat saya pernah salah tingkah ketika ibu angkat saya yang bule itu memperkenalkan saya kepada tamu, lalu tamu itu pun menyalami saya dengan tangan kiri, padahal saya sudah kadung mengajukan tangan kanan, hahaha.. (Saat itu saya berusaha menerima bahwa mungkin ini kebiasaan orang bule, bukan berarti mereka tidak sopan.) Di kesempatan lain, Melissa pernah berusaha mencegah saya makan di sebuah pesta karena tahu daging yang disajikan di pesta itu mengandung babi. Ternyata banyak orang Australia di pesta itu yang tidak tahu bahwa kebanyakan orang Indonesia beragama Islam, dan mereka tidak tahu bahwa pemeluk Islam tidak boleh makan babi.

Selama bersekolah di Australia, saya juga baru paham bahwa ternyata orientasi pendidikan di sana beda jauh dari kurikulum di Indonesia. Ketika pergi itu, saya sudah duduk di kelas 3 SMP, dan sehari-hari di Indonesia saya sangat eneg dengan pelajaran aljabar. Tapi ketika saya membuka buku pelajaran Katie yang sudah setara kelas 1 SMA, ternyata pelajaran aljabar di Australia baru diajarkan ketika SMA. Apakah kurikulum mereka lamban? Saya tidak yakin.

Karena ternyata di sana, bukannya menghamburkan jam pelajaran mereka untuk matematika dan fisika, anak-anak seusia SMP menghabiskan sebagian besar jam sekolah mereka untuk belajar prakarya, dan wajib ikut pelajaran olahraga atau memilih ikut kelas musik. Di koridor-koridor sekolah itu, saya melihat karya-karya seni muridnya ditempel memenuh-menuhi papan di koridor. Kadang-kadang di papan itu banyak potongan artikel koran lokal, biasanya di artikel itu ada foto murid mereka yang diberitakan baru memenangkan lomba anu atau kontes anu, yang sebenarnya mungkin itu hanya kompetisi tingkat kota tetapi murid itu jadi nampak hebat karena masuk koran. Dan setiap kali saya ketemu teman-teman Melissa atau Katie yang diperkenalkan kepada saya, saya hampir selalu bilang, “Oh, I think I saw your name on the picture at the front of the school!” dan mereka selalu cengar-cengir bangga sambil menjawab, “Yes, I made it..” Dan saya pun selalu pulang ke rumah sambil merenung, kenapa guru-guru di negara ini begitu menghargai kerjaan murid-muridnya sampai dipajang segala padahal menurut saya karya itu nggak bagus-bagus amat?

Tentu saja kadang-kadang keluarga angkat saya mengajak saya jalan-jalan, misalnya untuk makan malam di luar. Restoran Pizza Hut dan McDonald’s terhitung restoran yang murah-meriah di Australia, dan Katie bekerja sebagai pelayan di McD tiap hari Minggu. Banyak sekali teman-teman seumuran Katie di sekolah saya yang bekerja di restoran untuk mendapatkan penghasilan. Negara ini ternyata mengijinkan anak-anak di bawah umur 17 tahun untuk bekerja jadi buruh tanpa harus meninggalkan sekolah mereka.

Homestay juga jadi acara strategis untuk menampilkan budaya Indonesia. Pada hari terakhir kami tinggal di situ, saya dan teman-teman saya dari Indonesia tampil di sekolah di hadapan keluarga-keluarga angkat kami dan guru-guru sekolah itu. Kami tampil dengan kostum tradisional yang kami bawa dari Indonesia, lalu menyanyikan lagu Waltzing Matilda. Beberapa teman saya perform solo dengan menari Bali, sementara saya sendiri main piano membawakan lagu Indonesia sambil pakai kostum Dayak. Selesai acara, orang-orang Australia mengerubuti kami, menanyai kostum apa saja yang kami pakai. Mereka tercengang ketika kami menerangkan bahwa sebagian dari kami memakai kostum asal Bugis, asal Minang, asal Flores. Karena ternyata yang mereka tahu Indonesia itu hanya terdiri dari Jawa dan Bali.. :-D

Saya pulang dari Australia hanya membawa koper berisi baju kotor, sedikit oleh-oleh, dan dua rol film isi foto-foto selama berada di Australia. Tapi yang lebih penting, saya membawa pengalaman yang langsung mengubah pola pikir saya menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan. Bahwa negara orang lain mungkin lebih maju. Dan banyak sekali kelebihan negara kita yang juga tidak dimiliki negara lain. Dan ternyata banyak yang tidak diketahui oleh bangsa lain mengenai bangsa kita, dan itu mempengaruhi sikap mereka terhadap bangsa kita.

Jika Anda punya dana cukup dan ingin menghadiahi anak Anda liburan yang berharga, saya menyarankan anak Anda untuk melepasnya dalam program homestay di luar negeri. Dewasa ini banyak sekali biro perjalanan yang menawarkan program-program homestay yang berdurasi sebulan saja untuk remaja. Tidak cuma anak jadi belajar bahasa lain, tapi ia juga belajar untuk hidup mandiri dan punya wawasan luas untuk memandang masalah dari berbagai sudut pandang orang lain secara universal. Ikut program homestay ini adalah investasi pendidikan yang bagus sekali untuk membuka jalan pikiran kita.