Friday, December 12, 2014

Hujan Basa-basi Busuk

Foto oleh Eddy Fahmi
Selamat datang, musim hujan. Begitu senang lihat hujan sungguhan supaya kita punya bahan pembicaraan.

Seorang kolega curhat ke saya. Beberapa hari yang lalu, dos-q entah bagaimana harus satu perjalanan berdua dengan kolega lain. Si partner perjalanan ini nggak akrab-akrab banget sama dos-q, bahkan tahu nama lengkap satu sama lain pun enggak. Tetapi mereka harus jalan bareng ke suatu tempat untuk kepentingan pekerjaan.

“How is he?” tanya saya. Maksudnya saya pingin tahu apakah dos-q menyenangkan, atau badannya bau, atau apalah.

“Oh, dia sangat pendiam,” jawab kolega saya dengan perasaan penuh tersiksa.

Saya ketawa. Kolega saya orangnya sangat periang. Tapi seseorang yang periang kadang-kadang bisa merasa tersiksa banget kalau harus jalan bareng orang yang sangat pendiam.

“Kalian ngobrolin apa? Eh, sori, maksud aku, kamu ngomong apa sama dia?” tanya saya mengejek.

“Mmmh..” kolega saya berusaha mengingat-ingat dengan susah-payah. “Saya nanya, ‘kemaren ujan ya?’”

Tawa saya meledak keras.


***

Hujan, atau cuaca, adalah topik yang paling sering diomongin orang, menurut statistik. Topik ini bahkan lebih sering diomongin daripada nanyain Anda anaknya berapa, atau Anda kerja di mana, atau enaknya siapa yang lebih asyik jadi presiden, Ahok atau Dahlan Iskan?
Buat saya, yang nggak senang sama basa-basi, jika saya ngobrol dengan seseorang, lalu tiba-tiba orang itu nanyain, “Di tempat Anda hujan ya?” itu adalah indikasi bahwa saya sudah mulai jadi orang yang membosankan sampai-sampai lawan bicara saya nggak nemu topik lain yang lebih menarik daripada cuaca. Dan mendadak perasaan itu jadi sedih.

Bokap saya pernah cerita tentang asal mula topik hujan. Jadi ceritanya, jaman dulu, di Jawa, mata pencaharian utama rakyat adalah petani. Semua orang menggantungkan sumber nafkah mereka dari kebun, sawah, ladang, dan hutan. Makanya, mereka senang banget kalau musim hujan tiba, coz berarti ada limpahan air untuk tanam-tanaman mereka (jaman dulu nggak ada banjir, thanks to Sultan-Agung-raja-besar-yang-konon-banyak-selirnya-itu). Akibatnya sawah dan lain-lain pun jadi subur, panen pun banyak, rejeki pun bejibun. Jadi kalau orang dari satu daerah ketemu orang dari daerah lain, lalu mereka bertanya, “Di tempat panjenengan sana hujan ya?” berarti itu maksudnya nanya apakah di sana rejeki sedang berlimpah.

Kebiasaan nanyain hujan itu berlangsung turun-temurun. Bahkan sampai jaman masa kini, ketika orang-orang tidak lagi berbondong-bondong jadi petani, dan banjir jadi musibah langganan di mana-mana. Hari gini, orang masih nanyain, “Di sana hujan ya?” nggak jelas itu maksudnya sebenarnya nanyain apakah kita hapal prakiraan cuaca atau cuman sekedar basa-basi mengisi kekosongan pembicaraan. Di kalangan orang yang hidup di perkotaan, hujan artinya “jemuran nggak kering”, “bikin males keluar rumah untuk bekerja”, “awas banjir”, dan pokoknya hal-hal yang nggak enak lainnya.

Dan ngomongin hal yang nggak enak hanya membuat pembicaraan yang semula kosong menjadi semakin tidak menyenangkan.

Terus saya kadang-kadang jadi penasaran, kalau nggak ada hal yang enak untuk diomongin, lantas ngapain harus dipaksain ngomong? Kenapa harus basa-basi segala? Memangnya situ seneng kalau dibasa-basiin, ditanyain di sana hujan apa enggak?

Persoalannya, ternyata ada sebagian orang di dunia ini, saya nggak tahu populasinya ada berapa persen, yang memang rikuh kalau tidak menciptakan pembicaraan, atau memang rikuh kalau tidak diajak bicara.

Oh by the way busway, saya seneng kalau ditanyain di tempat saya hujan apa enggak. Soalnya Surabaya itu nggak pernah hujan. Cuacanya di sini panas banget. Di sini mataharinya ada ENAM. Kalau sampai di sini hujan, berarti pasti itu fenomena alam.