Ini kisah nyata dari seorang kawan jemaah blog saya. Yang struggle untuk mencari nafkah, dan ironisnya perjuangannya dihambat oleh keluarganya sendiri. Atau mungkin oleh mentalnya sendiri.
Kawan saya laki-laki, mungkin umurnya sekitar 30 tahun. Bekerja jadi pegawai negeri sipil, di sebuah kantor dinas di sebuah kabupaten. Dos-q baru menikah, istrinya juga pegawai negeri sipil, bekerja di kantor yang lain di kabupaten itu. Pasangan muda ini punya seorang anak balita yang berumur kira-kira dua tahun.
Mungkin karena kinerjanya bagus, kantor tempat kawan saya ini dianggap berprestasi. Atasan dari kepala kantor ini menganggap lokasi kantornya nggak ideal lagi berada di kabupaten itu, karena kantor ini nggak cuman meladeni urusan sekabupaten itu, tapi bebannya sudah sampai tingkat propinsi. Jadi sang boss pun ambil keputusan, kantor ini mau ditutup dan dipindahkan ke ibukota propinsi. Termasuk pegawai-pegawainya, ya termasuk kawan saya juga, disuruh pindah sekalian ke ibukota.
Nggak tahunya, kawan saya mengerang keluh kesah. Karena istrinya juga mengeluh. Menurut dalih kawan saya, kalau dos-q disuruh pindah ke ibukota propinsi, dos-q harus ninggalin istrinya. Karena istrinya sudah betah bekerja di kabupaten itu, plus di kabupaten itu ada orang tua yang bisa dititipin anak mereka kalau istrinya sedang ngantor. Lha kalau istrinya ngikut kawan saya ke ibukota propinsi, istrinya mungkin harus ninggalin pekerjaannya yang sebagai PNS itu, biaya hidup akan meningkat coz mereka harus siap-siap cari rumah kontrakan, cari pengasuh anak, pokoknya jadi lebih mahal deh.
Kawan saya laki-laki, mungkin umurnya sekitar 30 tahun. Bekerja jadi pegawai negeri sipil, di sebuah kantor dinas di sebuah kabupaten. Dos-q baru menikah, istrinya juga pegawai negeri sipil, bekerja di kantor yang lain di kabupaten itu. Pasangan muda ini punya seorang anak balita yang berumur kira-kira dua tahun.
Mungkin karena kinerjanya bagus, kantor tempat kawan saya ini dianggap berprestasi. Atasan dari kepala kantor ini menganggap lokasi kantornya nggak ideal lagi berada di kabupaten itu, karena kantor ini nggak cuman meladeni urusan sekabupaten itu, tapi bebannya sudah sampai tingkat propinsi. Jadi sang boss pun ambil keputusan, kantor ini mau ditutup dan dipindahkan ke ibukota propinsi. Termasuk pegawai-pegawainya, ya termasuk kawan saya juga, disuruh pindah sekalian ke ibukota.
Nggak tahunya, kawan saya mengerang keluh kesah. Karena istrinya juga mengeluh. Menurut dalih kawan saya, kalau dos-q disuruh pindah ke ibukota propinsi, dos-q harus ninggalin istrinya. Karena istrinya sudah betah bekerja di kabupaten itu, plus di kabupaten itu ada orang tua yang bisa dititipin anak mereka kalau istrinya sedang ngantor. Lha kalau istrinya ngikut kawan saya ke ibukota propinsi, istrinya mungkin harus ninggalin pekerjaannya yang sebagai PNS itu, biaya hidup akan meningkat coz mereka harus siap-siap cari rumah kontrakan, cari pengasuh anak, pokoknya jadi lebih mahal deh.